Galau itu khawatir. Galau itu nanar. Galau itu murung. Galau itu nelangsa. Galau itu cemas. Galau itu bingung. Galau itu bimbang. Galau itu resah. Galau itu risau. Galau itu karut. Galau itu kacau. Galau tidak sekedar rasa, tetapi juga sikap. Galau tidak hanya mengidap pada jiwa manusia, tetapi juga menghantam pada tindakan dan sikap manusia.
Setiap dari kita mengalaminya. Mengalaminya pada ketika berada di antara pilihan-pilihan yang membingungkan. Pada ketika situasi fisik sedang labil. Pada ketika mengalami kehilangan. Pada ketika hampa rasa. Pada ketika buntu solusi. Lebih jauh dari itu, galau dapat terjadi lantaran manusia tak merefeleksikan dirinya, lunturnya ke-aku-an dan pun disorientasi hidup.
Lantaran galau, manusia bisa terkontal-kantil antara pilihan-pilihan. Tidak hanya itu, galau bisa membuat manusia ke-plintat-plintut. Tidak punya pendirian. Tidak tahu diri. Bicara ngawur, bahkan bisa bunuh diri. Dari drop kemudian dead. Namun sebagian besar orang memilih untuk diam tanpa kata. Untuk mensunyikan diri dalam keheningan-keheningan, dalam sepi dan dalam kesenyapan.
Namun, yang membuat penulis tidak mengerti dan tidak habis pikir adalah tentang sesuatu ‘galau’ yang sudah menjadi sindrom public. Dari anak kecil sampai kakek-kakek. Dari orang miskin sampai yang kaya, dari pejabat sampai rakyat jelata, semua berkeluh ‘galau’. Sehingga, apa pun kebimbangan, kecemasan selalu disebut sebagai galau. Sedikit-sedikit dilema. Sedikit-sedikit galau. Sedikit-sedikit Andi Lau (antara dilema dan galau).
Rupa-rupanya ini bukan sindrom biasa. Sekalipun sekedar sebagai kata, galau adalah soal kecemasan dan kerapuhan identitas. Hemat penulis, kegalauan yang demikian terjadi lantaran keterbatasan ruang interpretasi diri. Miskinnya refleksi diri. Manusia kita, rupa-rupanya sedang kehilangan jati diri dan menjadi bagian dari yang asing. Sehingga proses perjalanan kembali ke dalam diri sendiri menjadi sesuatu yang melelahkan.

sumber http://krisbheda.wordpress.com/2012/05/13/dikit-dikit-andi-lau-antara-dilema-dan-galau/